Kasus sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang melibatkan PT UIT menyoroti kompleksitas implementasi Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN, khususnya mengenai pengkreditan Pajak Masukan (PM) yang ditolak oleh otoritas pajak. Direktori Jenderal Pajak (DJP) mempertahankan koreksi atas PM senilai Rp. 250.833.289,00 yang terbagi menjadi dua isu krusial: pertama, PM yang berasal dari Faktur Pajak (FP) yang dianggap tidak dilaporkan oleh lawan transaksi atau disalahartikan sebagai FP berkode 040 yang tidak dapat dikreditkan; dan kedua, PM atas perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dianggap tidak memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan. Putusan ini menjadi rujukan penting dalam memperkuat hak konstitusional PKP Pembeli untuk mengkreditkan PM, selama persyaratan material terpenuhi.
Inti konflik dalam sengketa ini berpusat pada dualisme penafsiran hukum. DJP bersikeras pada pendekatan formalistik, yang menolak pengkreditan PM senilai Rp. 224.906.836,00 berdasarkan ketidaksesuaian data pelaporan pada sistem DJP. DJP menganggap PT UIT gagal membuktikan arus uang/barang dan kemudian mengalihkan dasar koreksi ke kode FP 040 (Nilai Lain) merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.03/2010. Di sisi lain, PT UIT dengan tegas membantah koreksi tersebut. PT UIT berargumen bahwa mereka telah bertindak dengan itikad baik dan telah menyerahkan bukti komprehensif, termasuk kontrak, invoice, bukti transfer, dan bahkan Surat Pemberitahuan (SPT) PPN Lawan Transaksi yang membuktikan PPN telah dipungut dan disetor. Bantahan ini didasarkan pada prinsip tanggung jawab renteng (Pasal 16F UU PPN) dan pedoman pengujian faktur pajak terbaru.
Mengenai koreksi kedua sebesar Rp. 25.926.453,00, perbedaan pandangan muncul terkait frasa "hubungan langsung dengan kegiatan usaha." DJP menafsirkan hubungan langsung secara sempit, menganggap jasa pendukung seperti cleaning service, pemeliharaan taman, dan sewa akomodasi karyawan tidak secara langsung menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) yang terutang PPN. Argumentasi PT UIT lebih pragmatis dan substansial. Mereka menekankan bahwa biaya-biaya tersebut adalah biaya operasional dan manajemen yang sifatnya esensial (necessary and inevitable) untuk menjaga kelancaran produksi dan penjualan BKP. Keabsahan biaya ini diperkuat oleh fakta bahwa DJP sendiri tidak melakukan koreksi fiskal atas biaya tersebut dalam perhitungan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) PT UIT.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memandang bahwa argumen PT UIT lebih kuat dan kredibel. Dalam resolusinya, Majelis secara tegas menolak koreksi atas FP Lawan Transaksi Tidak Lapor. Majelis berpendapat bahwa koreksi yang hanya didasarkan pada ketidaksesuaian data pelaporan oleh PKP Penjual, tanpa mempertimbangkan bukti transaksi riil yang disajikan oleh PKP Pembeli, bertentangan dengan asas hukum nemo punitur pro alieno delicto (seseorang tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain). Majelis juga menolak dalil kode FP 040 DJP, karena regulasi yang dirujuk salah alamat—PMK 75/PMK.03/2010 mengatur perlakuan PM bagi PKP yang menyerahkan jasa, bukan bagi PKP penerima jasa seperti PT UIT.
Analisis putusan ini memberikan implikasi signifikan, yaitu meneguhkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2021, yang mengamanatkan pengujian Pajak Masukan harus mencakup arus uang, barang/jasa, dan dokumen, tidak hanya konfirmasi pelaporan. Putusan ini menjadi preseden positif bagi wajib pajak yang menghadapi sengketa pengkreditan PM akibat kelalaian pihak lawan. Selain itu, putusan ini memperluas makna "hubungan langsung dengan kegiatan usaha" dengan menyertakan pengeluaran yang menunjang operasional dan manajemen, terutama jika biaya tersebut sudah diakui sebagai deductible expense dalam PPh Badan.
Kesimpulannya, sengketa ini memberikan pelajaran berharga bagi PKP bahwa pertahanan terbaik dalam sengketa PPN Masukan adalah dokumentasi yang kuat atas substansi transaksi (underlying transaction). Setiap pengeluaran yang mengandung PPN Masukan wajib didukung oleh traceability yang sempurna antara pengadaan, pembayaran, dan dampaknya terhadap operasional, untuk memastikan hak pengkreditan dapat dipertahankan sepenuhnya di hadapan otoritas pajak dan Pengadilan Pajak.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini